Aidodo De Pinogu / Come To Pinogu

Kamis, 23 Juni 2016

Suasana Bulan Suci Ramadhan di Pinogu


WIMPinogu - Bulan suci ramadhan adalah bulan yang dinanti oleh seluruh umat islam diseluruh belahan dunia karna di bulan ini limpahan rahmat Allah SWT tercurah bagi hambaNya yang beriman. Mudik menjadi agenda utama para pelajar dan mahasiswa untuk kembali berkumpul bersama keluarga dan kerabat di kampung halaman. Pagi itu pada H-1 ramadhan ratusan pelajar dan mahasiswa mengagendakan mudik melalui jalur pendek sepanjang kuang lebih 40 KM, tak perlu mengantri tiket kereta api atau berdesakan dibus penumpang cukup mempersiapkan tenaga dan bekal secukupnya untuk berjalan kaki selama kurang lebih 12 jam perjalan. Suasana riuh ramai gemakan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), suara canda dan tawa iringi langkah mereka sehingga lelahpun tak terasa. Sore itu mereka tiba dengan selamat tanpa kurang sesuatu apapun, keluarga dan sahabat sambut gembira kedatangan mereka. Sebagian dari mereka melaksanakan sholat tarwih berjamaah di masjid dan sebagian lainnya memilih beristirahat karna capek, keheningan malampun jemput mimpi mereka ke alam nirwana. 

Tak ada gema sahur dari toa-toa masjid yang pekakkan gendang telinga, secara sadar seluruh warga tinggalkan mimpinya untuk santap sahur, sembari membangunkan tetangganya yang masih tidur dengan suara nan lembut lagi sopan. 

Gema adzan subuh berkumandang kabut tebal selimuti perkampungan, udara dingin serasa menggerogoti persendian hingga ke sum-sum tulang. Meskipun demikian masjid tampak ramai oleh sapaan hangat para jama'ah yang saling sapa. 

Usai sholat subuh, muda-mudi dan anak-anak pelesiran ke tepi sungai bone. Berbagi cerita, mengenang kisah atau hanya sekedar menikmati suasana kabut di pagi hari. Dingiiiiiiiinnnnn coooyyy, sumpah. 

Matahari mulai menampakkan diri, mengusir kabut tebal dan membagi kehangatan. Orang-orang pun satu persatu memilih pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan ikan-ikan yang masih bermain kian kesana-kemari hanya tapak kaki yang menjadi saksi bahwa pagi ini sungai bone ramai sekali. 

Siangnya warga beraktifitas seperti biasa, ada yang ke sawah, kebun atau bersantai di rumah tetangga sambil ngerumpi tentang persiapan buka puasa nanti. Di pinogu tak ada yang buka warung makan disiang hari, karna di pinogu memang tak ada warung makan. Adanya cuman kantin sekolah yang buka saat sekolah aktif proses belajar mengajar. 

Sore hari, menjelang buka puasa tak ada acara ngabuburit yang tampak hanya anak-anak yang asyik bermain mercun/petasan, pemudanya bermain takraw serta pemudinya bermain volly, sisanya menonton pertandingan. Jumlah penonton volly lebih banyak ketimbang takraw. Entah mengapa? saya juga tidak tahu dan saya tidak mau tahu, makanya saya tidak bertanya kepada penontonnya. 

Suara pengajian dari radio mulai terdengar dari toa-toa masjid, warga mulai berduyung-duyung ke masjid untuk melaksanakan buka puasa bersama. Buka puasapun terasa khidmat, anak-anak hingga orang tua duduk secara terartur menanti beduk buka puasa, dilanjutkan dengan sholat magrib berjamaah. 

Tiba saatnya sholat tarwih, masjid penuh sesak dengan jamaah, udara dingin tak mampu sejukkan dalam masjid sehingganya takmirul menyalakan dua buah kipas angin yang menempel di dinding yang berada didepan jamaah. 

Sudah menjadi tradisi di pinogu usai sholat tarwih warga mengadakan pengajian di masing-masing desa yang diselenggarakan di rumah warga yang dibentuk menjadi 30 kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 6 kepala keluarga. Pengajian akan digilir setiap malamnya dari kelompok satu ke kolompok lainnya, setiap kelompok bertanggung jawab menyediakan takjil (makanan kecil/beragam jenis kue) untuk disajikan bagi mereka yang datang pada malam itu. Anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua datang berkumpul ditempat pelaksanaan pengajian. Mereka menyelesaikan satu juz setiap malamnya, yang dimulai dari ba'da tarwih hingga pukul 24.00 waktu setempat. 

Ditempat terpisah ada juga sekolompok anak muda yang menghabiskan malam dengan bernyanyi bersama, bercanda ria atau hanya sekedar pacaran dan berbincang seadanya. 

Jumat, 17 Juni 2016

Adat Mandi Lemon Di Gorontalo





WIMPinoguPara wanita di gorontalo menjalani prosesi mandi lemon sebanyak dua kali dalam hidupnya. Pertama saat umur dua tahun Mo Polihu Lo Limu Waw Molubingo (Mandi Lemon dan Khitanan), kedua Mo Polihu Lo Limu Waw Mo Meati (Mandi Lemon dan Pembaeatan) saat memasuki masa remaja yang ditandai dengan datangnya haid (menstruasi). Prosesinya keduanya hampir sama tapi tulisan kali ini lebih spesifik membahas tentang Mandi Lemon dan Pembaetan.

Mandi lemon sudah menjadi adat dan tradisi di gorontalo saat anak gadis beranjak remaja, prosesinya akan dilaksanakan setelah haidnya berhenti. Mandi lemon juga merupakan mandi haid pertama bagi gadis remaja di gorontalo. 

Diawali dengan membacakan sholawat yang dipimpin oleh imam masjid atau tokoh adat setempat, seiring hulango (dukun beranak) memberikan bontho (titik) pada si gadis dibagian tubuh tertentu dengan campuran bedak dan rempah yang sudah dihaluskan. Hulango kemudian melanjutkan ritual ramalan dengan melemparkan potongan jeruk, pala dan cengkih ke dalam loyang.

Selanjutnya ritual mandi lemon, uniknya si gadis duduk di atas cukuran kelapa yang dihiasi dengan batang tebu, setandan buah pisang dan mayang (dari pohon pinang) yang terurai. Si gadis akan dimandikan oleh hulango, disiram dengan air yang telah dicampur dengan daun puring dan bunga serta potongan jeruk purut dari tujuh potong ruas bambu kuning yang didalamnya juga terisi koin logam. Dalam sesi mandi ini, ada tepuk mayang (yang masih terbungkus pelepahnya) kemudian pucuknya di gosokan ke seluruh tubuh. Acara mandi diakhiri dengan memecahkan telur diatas telapak tangan si gadis, disalin dari tangan kiri ke tangan kanan secara bergantian, kemudian meminta si gadis untuk menelan  kuning telur mentah-mentah. 

Dilanjutkan dengan prosesi menginjak piring yang berjumlah 11 buah, 7 buah piring berisi koin logam dan sehelai daun puring, 4 buah piring masing-masing berisi padi, jagung, beras tiga warna (hijau, kunig dan putih) dan tanah yang ditumbuhi rumput padinggi (Digitaria Sanguinalis), serta satu buah wadah plastik yang berisi beras, 7 buah jeruk purut, 7 butir telur ayam, 7 biji pala, dan 7 keping koin logam. Si gadis akan mengitari ke sebelas piring yang dijajarkan di atas kain batik berlawanan dengan arah jarum jam, berputar sebanyak tiga kali.

Prosesi inti yakni pembaeatan, imam wilayah ataupun tokoh adat setempat akan membaeat si gadis sesuai dengan syariat islam. Diawali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, menjelaskan tentang rukun islam, rukun iman dan rukun ikhsan. Adab terhadap kedua orang tua, tata cara berperilaku dalam keseharian yang diatur oleh hukum adat gorontalo serta nasihat lainnya yang bersesuaian sebagai modal hidup kedepan. Insya Allah Amin.